15/09/2022
STERIL HEWAN: “DOSA GAK DOK...............?”
Oleh: Drh. Heru Setiawan
(Dokter Hewan Praktek Di Grandia Petcare, Way Halim, Bandar Lampung)
“Dosa gak dok.................?”
Demikian pertanyaan yang sering disampaikan oleh pemilik hewan (kucing/anjing) saat saya menyarankan untuk mensteril hewan peliharaannya. Di sosmed malah ada penyayang hewan yang jelas-jelas menyatakan itu perbuatan dosa.
“Apakah mensteril hewan itu dosa?”
Saya tidak mempunyai kompetensi untuk menjawabnya. Tapi saya ingin menjelaskan beberapa aspek berkaitan dengan steril. Begini....
Dalam melakukan aktifitas seksualnya, kucing dan anjing hanyalah menuruti hawa nafsunya saja (instingtif). Tidak ada nalar dan rasa cinta apalagi norma agama seperti halnya pada manusia. Setelah besar ia tidak mengenali lagi mana saudara, anak, ibu dan bapak. Maka bapak bisa mengawini anak, adik mengawini kakak, kakek mengawini cucu, cucu mengawini nenek.
Di sisi lain karena instingtif, hewan betina (khususnya kucing) akan kawin lagi walau anak-anaknya masih kecil bahkan menyusui. Tak peduli badannya masih kurus, rambut rontok, kulit kusam. Kalau birahi muncul ia akan ikhlas dikawini pejantan. Ia tidak punya kuasa untuk mengatur kelahiran agar ia cukup waktu untuk membesarkan anak-anaknya tumbuh sehat dan memulihkan kondisi tubuhnya. Bahkan sang ibu “tega” menyuruh anak-anaknya pergi menjauh atau ia sendiri yang akan pergi untuk kawin dan melahirkan lagi.
Pejantannya.....? Ia tidak akan bertanggungjawab sebagai “suami”. Ia tidak peduli apakah “sang isteri” kerepotan dan tidak peduli juga apakah anak-anaknya mendapat ancaman. Cueeek. Bahkan ia siap mengawini betina lain yang sedang birahi. Memang begitulah dunia hewan.
Karena instingtif itulah steril tidak membuat hewan menjadi stress walaupun bukan keinginannya sendiri. Hewan yang disteril tetap aktif, tidak murung, nafsu makan biasa bahkan cenderung meningkat dan lebih sehat. Ini tentu berbeda dengan manusia jika disteril bukan karena keinginannya.
Jika kucing tidak disteril, ia mampu melahirkan 3 kali dalam setahun. Sekali melahirkan rata-rata 4 ekor. Andai seseorang memelihara sepasang dewasa di rumah maka dalam setahun populasinya bisa mencapai 14 ekor dan dalam 2 tahun bisa lebih dari 26 ekor karena anak-anaknya juga sudah beranak pinak.
Waktu hanya memelihara 2 ekor, kebersihan rumah, kandang dan sekitarnya terjaga. Rambut kucing yang bertebaran dan bau kotoran sangat minimal . Kucingpun sejahtera karena tinggal di rumah (baca:kandang) yang nyaman dan diberi pakan yang berkualitas. Pemilik punya cukup waktu, tenaga dan dana untuk memberi perhatian dan perawatan (menggrooming) peliharaannya.
Apa yang terjadi saat kucing di rumah mencapai 26 ekor?
Kualitas pakan yang diberikan menurun. Yang tadinya sanggup membeli pakan berkualitas super (100-200 gr harganya ratusan ribu rupiah) lalu turun berganti yang 1 kg hanya puluhan ribu rupiah. Itupun repacking.
Tidak higienis dan sanitasi terganggu. Rambut kucing bertebaran ke mana-mana. Jumlah tinja dan air kencing meningkat, menyebabkab bau menyengat. Kesejahteraan hewan terabaikan. Sudah mulai jarang menggroming. Jika dulu menggroming sendiri hanya perlu 2-4 jam atau jika menggunakan jasa orang lain hanya perlu mengeluarkan dana 100-150 rb maka setelah 26 ekor: mau menggrooming sendiri waktu dan tenaga terkuras, minta tolong jasa orang lain dompet yang terkuras. Suara bising kerap terjadi akibat perkelahian antar kucing yang tidak akur. Anggota keluarga atau bahkan tetangga mulai komplain.
Kesehatan kucing jelas terabaikan. Obat cacing yang biasanya rutin diberikan mulai jarang bahkan tidak sama sekali. Kucing ada yang sakit tidak tahu. Vaksinasi? Mulai berhitung berapa rupaih yang harus dikeluarkan.
Kucing dan pemilik mulai sama-sama stress.
Di sosmed saya pernah membaca komentar seorang pemilik kucing cara menyiasati jika sudah mulai banyak. Yaitu dengan membuangnya di dekat pasar atau rumah makan agar ia mudah mencari makan. Cara ini menurut saya tidak bijak bahkan tidak manusiawi. Kucing yang biasa disediakan pakan sehari 2-4 kali tiba-tiba harus mencari sendiri. Harus fighting dengan kucing-kucing liar yang juga mencari makan. Jelas ia akan kalah karena tidak terlatih dan tidak terbiasa. Belum lagi stress menghadapi dunia luar: kepanasan, kedinginan dan melihat berbagai macam hewan dan manusia. Pendek kata: TERSIKSA.
“Tapi kasihan dok kalau harus dioperasi..... nanti saya pisahin saja kalau pas musim kawin”
Demikian kata pemilik hewan yang menolak mensterilkan hewannya setelah mendapatkan penjelasan dari saya.
“Ya tidak apa-apa itu pilhan anda tapi kasihan juga kucingnya”
“Emangnya kenapa dok..........?”
“Lha ingin kawin tidak tersalurkan”
Bandar Lampung, 13 Maret 2020